RUNTUHNYA MAJAPAHIT: Sirna Ilang Kerthaning Bhumi
Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara dan Sunan Kudus, menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya-5 berhasil meloloskan diri.
Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan ke arah mana mereka membawa Sang Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar laporan Raden Patah, marah besar! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar.
Raden Patah telah berani melanggar TIGA peraturan Kerajaan, yaitu:
- Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta Majapahit!
- Dia telah berani melawan seorang Imam yang syah, seorang Umaro’ yang seharusnya tidak boleh dilawan tanpa ada alasan yang jelas!
- Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya, serta orang-orang Islam sebagai kerabat dan sahabat mereka!
Nyi Ageng Ampel menangis. Ia tertunduk menangis kencang, hingga akhirnya terduduk simpuh di lantai. Raden Patah sadar, terketuk hati nuraninya, dan dia ikut mencucurkan air mata. Di depan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah sujud mencium kaki beliau, ia menangis meraung-raung, menyesali perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya-5. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya-5 dikukuhkan kembali sebagai seorang Raja.
Mendengar perintah itu, masih bercucuran air mata dan emosional, maka Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri, bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya.
Dalam situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah-pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya-5, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi, itu pasti.
Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya-5 dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit.

Sunan Kalijaga. (sumber: catatankecilnisa@wordpress)
Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, bahwa dua Ulama Besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit, karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah. Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata atau intelijen Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit di wilayah Blambangan. Diketahui pula, Prabhu Brawijaya-5 ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Demi untuk menghindari kesalah pahaman, maka dengan memakai pakaian rakyat sipil biasa yang tidak mencolok mata. dia pun berangkat dengan beberapa santrinya.
Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta rombongan melihat banyak pemandangan-pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. Di sepanjang perjalanan.
Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah mengganti keyakinannya. Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan dan kehausan harta dan tahta duniawi.
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap.
Karena Sunan Kalijaga beragama Islam, maka ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status Duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang Duta.
Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang Duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu diluar.
Prabhu Brawijaya-5, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit.
Prabhu Brawijaya-5 meneteskan air mata mendengar banyak penduduk dan rakyat yang tak berdosa, juga harus meregang nyawa karena kepicikan. Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi hanguskan, tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah. Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahaturkan tujuan sebenarnya dia menjadi Duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya-5 berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika semua yang hadir memincingkan mata. Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam.
Tidak hanya itu saja, wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu.
Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para pembangkang yang radikal dan militan akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh di musim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri? Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu. Sang Prabhu menghela nafas.
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut.
Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah lagi. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi di depan mata.
Hal itu dikarenakan selama Kerajaan Majapahit berkuasa, ratusan kerajaan-kerajaan kecil dibawahnya yang diayomi dan dijaga, justru dapat ikut berkecamuk, mereka akan ikut berperang melawan Raden Patah. Dipastikan kekacauan tambah melebar ke pulau-pulau yang ada dimana-mana.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati. Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan.
Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya.
Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, jadi yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging karena hal itu ditemukan dalam prasasti dan naskah kuno yang masih tersimpan hingga kini..

Lukisan ilustrasi memperlihatkan seorang pajabat Kerajaan Majapahit sedang mengunjungi tempat pembuatan dan pengukiran batu Prasasti pada masa lalu.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam?
Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh? Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga berjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara.
Dan itu berarti, mulai saat ini dan seterusnya, dia harus terpaksa ikut terjun ke dunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini!
Tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan. Prabhu Brawijaya-5 bernafas lega, karena dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.
Sunan Kalijaga juga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan juga merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehatnya, sejenak kemudian beliau memberikan jawaban. Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pemberontakan oleh Raden Patah ini.
Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.

Lukisan ilustrasi, pasar tradisional yang rapih di pinggir sungai yang jernih di era Majapahit
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar, se-Nusantara!
Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan. Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ke tempatnya untuk sementara waktu.
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. Siapa mereka? (Masih rahasia).
Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ke titik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’.
‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar-balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun ke depan! Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’.

Presiden SBY melihat kondisi Candi Prambanan saat gempa Jogjakarta 2006
Yang ‘kesadarannya masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara.
Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih.
Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara pada waktu itu. Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali di masa depan.
Memang sudah menjadi garis karma, kehendak-Nya, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…
Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali.
Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NOYO GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :
“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya-5 diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada di depan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia, tetap mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya.
Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus!
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya-5 yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, seluruh masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Berita pun menyebar se-Nusantara! Kepada ratusan kerajaan-kerajaan kecil dibawah Majapahit.
Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari para ulama Demak Bintara, yang memfatwakan:
“Peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang.”
Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi.

Peta Banyuwangi dan Blambangan, di daerah Jawa pesisir timur
Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu, kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi.
Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan termasuk Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging, putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub.
Juga ada Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging.
Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub.
Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan, yaitu:
- Raden Patah
- Sultan Yunus
- Sultan Trenggana.
Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil ke muka.
Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil ke muka menggantikan keturunan Pengging.
Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman.
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar di pusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja.

Makam Putri Campa di Trowulan (foto diambil pada tahun 1870-1900) (wikimedia / COLLECTIE_TROPENMUSEUM)
Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara dan di jagat dunia.
Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri, Dewi Anarawati atau Putri Champa, dan beliau diperlakukan serta tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putra dari darah dagingnya sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan. Seluruh putra dan putri beliau berkabung. Seluruh masyarakat Nusantara berkabung.
Dan kehancuran Majapahit, Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI.
SIRNA berarti angka nol ‘0’. ILANG berarti angka nol ‘0’. KERTA berarti angka ‘4’ dan BHUMI berarti angka ‘1’. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 tahun Saka atau 1478 Masehi.
Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya-5, yaitu Raden Kertabhumi (Bhre Kertabumi). Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan Raden Patah alias Jin Bun yang bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun, memindahkan pusat pemerintahannya ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai “Sultan” dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam akhirnya terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak.
Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus dan terus dan terus dan terus tertumpah tiada habisnya.
Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam di peta perpolitikan dunia, negara asing sebagai penjajah pun tertawa riang gembira.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda mulai datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa mental kerupuk! Terlihat kering, padahal melempem. Semenjak Majapahit hancur, berikut beberapa kerajaan-kerajaan kecil yang ikut musnah dibawahnya, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka bagi anak bangsanya.

Pada tahun 1596 Masehi, Belanda mulai datang ke Jawa. (piquanterieen@wordpress)
Kapan Majapahit Emperor bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Kerajaan Macan lagi? Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena kalian sendiri yang telah lalai.
Persatuan dan kesatuan selama ribuan tahun dari satu darah walau berbeda-beda fisik, kepercayaan, suku, ras dan golongan, tiba-tiba berubah membuat kita menjadi mudah iri hati, dengki dan benci kepada saudara se-Nusantara lainnya.
Selama itu, ratusan kerajaan kita selalu bersatu menjadi satu, kini terkotak-kotak bagai sebuah lidi yang mudah patah! Bahkan banyak kerajaan yang telah hilang. Sejarah memang lebih banyak ditulis para pemenangnya. Namun, sejarah adalah fakta, dan fakta tak bisa dilenyapkan, karena fakta adalah sejarah.
(sumber: Damar Shashangka, fv4eva@wordpress / wikipedia / wikimedia / berbagai sumber / editor: IndoCropCircles)