Sabtu, 18 Februari 2017

Keturunan di Tarub

Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya-5 terserang penyakit rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras untuk berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara:
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha Niera, di daerah Sulawesi).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning atau Putri Wandan Sari.
Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh. Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani (waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen, adalah putra ke 14 Prabu Brawijaya-5, raja Kerajaan Majapahit terakhir dengan seorang Putri Wandan Sari (Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa).
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang).
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan yang kini lebih dikenal sebagai Lara Kidul Dewi Nawangwulan, (disingkat: Loro Kidul) yang lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri.
Konon, Lara Kidul Dewi Nawangwulan adalah ratu sebuah kerajaan kecil pada masa Kerajaan Majapahit. Ia adalah keturunan raja Melayu yang diambil menantu oleh Raja Majapahit, Bhre Wengker (1456-1466), sementara ia sendiri menjadi salah satu dari tujuh bidadari yang mandi di telaga. (Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas).
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/2/2a/Jaka-tarub_%281%29.jpg
Sebuah gambar perumpamaan cerita Jaka Tarub. (wikimedia)
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah: Raden Getas Pandhawa (Ki Ageng Getas Pandawa).
Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana alias  Tung Ka Lo (1483 – 1546), yaitu Sultan Demak ketiga yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak.
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gede Pamanahan, adalah pendiri desa Mataram tahun 1556.
Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga(Panembahan Senopati) atau yang bergelar Panembahan Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama, yang bernama asli Danang Sutawijaya, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan.
Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur para Sultan Kasultanan Jogjakarta, para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang. Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar